Mempersiapkan khotbah yang baik…

Posted on Updated on

KHOTBAH YANG BAIK ITU….

PENGANTAR

Mengawali tulisan ini, baiklah kita simak pendapat-pendapat umat beriman tentang khotbah pastor yang dikirim melalui SMS dan dimuat di Majalah HIDUP:

“….Umat menghendaki khotbah yang: ‘CEKAK, AOS’! yang penting bkn lamanya berkhotbah, ttp relevansinya n penyampaian yang variatif. Nuwun. Anton (081511063xxx).

“Khotbah pastor tdk b’bobot, umat ketiduran. Umat ya melaksanakan isi khotbah pastor. Pastor teori doang! Perlu ditambah sks kotbh di Seminari Tinggi. Terlalu pagi ditahbiskan jadi imam? Roman (081376663xxx).

“Bbrp pastor kl khotbah btele-tele n tdk sesuai dg buatannya….alangkah baiknya sblm khotbah hrs ada sapaan ya matang n pantang biar Roh Kudus bkerja. Rachel (081399318xxx).

“Khtbh tak mnrik n monoton, mslh klasik tnp ada prbhn. Imam prlu membuka diri thd kritik, tdk asyik dan cr pndg sndiri. Slain hrs mnrk, khtbh hrs mnjd trg & hrpn thd realita problem sosial umat….” Ngena (081378628xxx).

Suara sebagian umat ini menjadi perwakilan selentingan nada-nada ketidakpuasan umat pada umumnya akan khotbah pastor yang tidak menarik dan membosankan. Nyatalah bahwa berkhotbah adalah keprihatinan kita bersama yang kian mencuat akhir-akhir ini ke permukaan. Bunyinya makin nyaring bergema. Kita sadar dan seolah dibangunkan dari tidur panjang yang melelahkan: khotbah harus menarik dan mendarat. Sasaran itu mau dicapai tetapi serentak kita dihadapkan pada dilema, ‘yang menarik dan menyenangkan itu belum tentu sepadan dengan ajaran otentik Gereja.’ Bisa saja menarik dan banyak ketawa-nya tetapi substansi makna Kitba Suci dan Tradisi Gereja terlupakan. Maka pengkhotbah ditantang untuk berkhotbah secara menarik serentak yang fundamental (Kitab Suci dan ajaran iman) terpelihara.

  1. APA ITU HOMILETIKA

Istilah homiletika berasal dari kata sifat Yunani homiletike yang dihubungkan dengan kata techne. Techne homiletike artinya ilmu pergaulan atau ilmu bercakap-cakap. Dalam kata sifat ‘homiletike’ terkandung kata benda homilia yaitu pergaulan (percakapan) dengan ramah tamah. Kata kerja homilein terdapat empat kali di dalam Perjanjian Baru (Luk. 24:14, 15; Kis. 20:11; 24:26).

Tiap-tiap orang yang bertugas berkhotbah harus memikirkan apakah sebenarnya dasar pekabarannya dan bagaimanakah cara berkhotbah yang baik. Rasul Paulus sendiri telah memikirkan soal itu dan menguraikannya dalam I Kor. 1 – 3. St. Agustinus dalam bukunya “De Doctrina Christiana” menyelidiki ilmu khotbah dan membedakan 2 bagian:

1. Homiletika material/Modus Inveniendi : soal bahan-bahan (isi) khotbah itu, &

2. Homiletika formal/Modus Proferendi: cara penyampaian khotbah.

Pada tulisan ini saya mau membahas kedua hal itu sekaligus dengan judul “KOTBAH: Isi yang Kontekstual dan Pembawaan Memikat.” Bukan tanpa alasan, tulisan ini adalah ‘share pribadi,’ kritik dan sumbang-saran atas fenomena khotbah yang menjadi keprihatinan kita bersama sebagai sinyalemen di zaman ini untuk kita. Tidak ada pretensi dari pihak saya untuk berbicara secara mendalam dan tuntas atasnya pada goretan sederhana ini. Cukuplah saya memaparkan sinyalemen umum sejauh saya lihat dan alami. Sebab, pokok ini teramat luas dan kaya.

  1. ISI KOTBAH YANG KONTEKSTUAL ITU………

(homiletika material)

  1. Mudah dimengerti umat setempat

Setiap orang adalah bentukan dari latar belakang yang berbeda-beda, baik keluarga, lingkungan, budaya, suku, agama, dll. Oleh karena itu, tataran nilai, cara pandang, pola sikap, dsb berbeda untuk tiap-tiap orang. Hal inilah yang oleh filsuf Hans-George Gadamer kelahiran Marburg 1900 sebagai “prejudice/vorurteil” (prasangkaa, apriori). H. G. Gadamer mau menentang paham Hermeneutika Romantis yang mau menghindari setiap prasangka/apriori. Bagi mereka prasangka/apriori itu tidak baik, bertentangan dengan kebenaran untuk itu setiap prasangka/apriori harus dibersihkan jika kita mau mendekati sesuatu. Menurut Gadamer pengenalan kita tidak dapat melepaskan diri dari prasangka. Menghindari prasangka sama dengan mematikan pemikiran. Itu tidak berarti bahwa interpretasi menjadi usaha subyektif belaka. Sebanyak mungkin harus kita sadarkan prasangka-prasangka yang menjuruskan pemikiran kita, tetapi adalah naif sama sekali jika kita sanggup mengambil sikap tertentu tanpa prasangka apapun.

Pengkhotbah yang bijak mesti memahami maksud dan pemikiran Gadamer ini. Jemaat beriman berbeda-beda latar belakang dan pemikirannya. Tidak semua sama rata. Tentu sangat berbeda umat yang hidup di daerah perkotaan dengan di pedesaan. Berbeda jemaat yang sehari-harinya bekerja di ladang dengan mahasiswa STFT yang pergulatan harian mereka di lingkup filsafat dan teologi. Sesuatu menjadi menarik manakala bahan yang diperbincangkan (dikhotbahkan) sesuai dengan latar belakang kita, ada apriori mengenai bahan itu. Tidak murni baru sama sekali. Teologi yang sangat abstrak dan pola pikir filsafat yang rumit mungkin amat digemari para mahasiswa tadi. Untuk jemaat sederhana, pembicaraan khotbah mengenai hidup konkret mereka tentu lebih mudah kena dan dimengerti. Dan kita tahu yang penting pesan khotbah sampai. Kalau untuk mahasiswa dengan bahasa yang tinggi maka untuk jemaat sederhana dengan bahasa yang sederhana pula.

  1. Mendalam tetapi Mendarat

Ada kecenderungan pengkhotbah (baca: pastor) untuk berkhotbah terlalu tinggi. Makin tinggi, makin mengawang-awang dianggap makin berbobot. Khotbah terlalu asyik dengan diskusi teologis, namun berhenti pada tafsiran teologis itu, kurang menyentuh kehidupan nyata umat. Sebenarnya, khotbah sedemikian mendalam tidak salah, bahkan sangat baik. Masalahnya, melulu teologis mengandung bahaya monotonisme dan terlalu ideal, kering dan datar. Awalnya khotbah membuat umat kagum tetapi tidak menggerakkan umat untuk merenung dan berbuat karena makna makna ktobah tidak membumi dan kurang menyentuh kehidupan nyata umat. Dibutuhkan para pengkhotbah yang bisa berteologi secara teks dan konteks. “Teks” mengusung makna mendalam sementara “konteks” menyiratkan makna mendarat. Obrolan-obrolan ringan yang akrab di telinga kita, membuat uraian sulit dan rumit sangat mudah. Justru membuat yang rumit menjadi ringan dan sederhana adalah pekerjaan yang tidak gampang.

Isi khotbah yang mendarat membutuhkan kepekaan pengkhotbah akan situasi jemaatnya. Si pengkhotbah harus ‘turun’ ke dalam pemahaman warga jemaat. Sebagai gembala ia harus lebih mengenal domba-dombanya. Semuanya perlu disapa dengan bahasa mereka. Sapaan meski sederhana sangat bermakna justru karena seorang gembala mengenal ragam hidup umatnya: ada yang sedang bahagia karena baru mendapat momongan, berbunga-bunga karena mendapat pacar baru, ngambek karena baru bertengkar dengan teman, suami, atau isteri, sedang sedih karena kecolongan harta benda, dan seribu satu ragam situasi hidup jemaat.

  1. Berkumandang dari kedalaman hati

Orang yang berbicara melulu atas dasar rasio pasti tidak menarik. Hati berbicara sangat mendalam dan kerap menyentuh segi terdalam dimensi hidup manusia. Ketika Yesus tampil di pentas publik, banyak orang yang terkagum-kagum kepadaNya. Banyak orang yang tersentuh dan takjub sebab Yesus berbicara dari kedalaman hatinya. Berbeda dari ahli-ahli taurat dan orang-orang Farisi yang selalu mengutip kitab-kitab Taurat. Dengan hati, Yesus berbicara dan terjun dengan situasi jemaat. “Mereka semua takjub, sehingga mereka memperbincangkannya, katanya: “Apa ini? Suatu ajaran baru. Ia berkata-kata dengan kuasa…””. “…mereka semua takjub lalu memuliakan Allah, katanya: “Yang begini belum pernah kita lihat.””

Seperti Yesus demikianlah kiranya para pengkhotbah. Pengkhotbah yang sangat peka dengan sendirinya akan berbicara dari kedalaman hatinya. Hati yang murni mencerminkan keprihatinan dan bela rasa (compassion) dengan hidup jemaat. Ada kecenderungan orang modern kembali ke zaman rasionalisme di mana rasi dijunjung tinggi sebagai satu-satunya kebenaran: ‘yang rasional adalah masuk akal. Apa yang tidak rasional tidak dapat diterima.’ Banyak orang lupa, iman hanya dapat dialami oleh hati & persasaan yang peka. Allah sering berbicara sangat halus dan lembut. Untuk mendengarkan suara Allah itu manusia tidak bisa hanya mengandalkan rasio. Ia harus menajamkan hati. Rasio manusia tetap sah, namun dalam mencari kebenaran Allah rasio harus memakai kaca mata iman. Dalam iman katolik, iman dan akal budi adalah dua sayap yang tak terpisahkan. Namun tetap diakui bahwa iman “sedikit lebih tinggi” dari pada kemampuan akal budi; bdk. Credo ut intellegam-nya Anselmus Canterbury. Dalam situasi tertentu, akal budi tunduk pada iman.

  1. Men – share – kan iman

Seorang pengkhotbah adalah seorang penyaksi iman. Maka, khotbah sebenarnya tidak melulu uraian teologis – eksegetis- biblis. Namun khotbah juga adalah share iman. Pengkhotbah membagikan pengalaman permenungannya atas realitas Allah. Realitas Allah pun yang terungkap dalam Kitab Suci senantiasa berbicara tanpa pernah tuntas. Tuhan ‘tidak pernah selesai’. Ia senantiasa berbicara untuk semua dimensi hidup manusia lintas budaya, usia, pendidikan, dan semuanya. Maka tepatlah jika dikatakan bahwa kompetensi homilis tidak mulai dengan berbicara tetapi berawal dari mendengarkan. Dalam ilmu lain anda boleh berdoa sebelum belajar, tetapi dalam proses mempersiapkan khotbah anda harus berdoa. Artinya, jika mau mewartakan Sabda Allah maka kita harus berkomunikasi dengan pemilik Sabda itu sendiri, Allah. Jika refleksi mulai memudar maka yakinlah kita bahwa kematian daya pukat khotbah akan semakin mendekat. Komunikasi dengan Allah (permenungan, refleksi) inilah yang mau kita saksi-kan kepada jemaat beriman.

Intimasi dengan Allah akan membuat pengkhotbah penuh dengan Roh-Kudus. Kita ingat bagaimana rasul Petrus dan kesebelas rasul yang lain memberi kesaksian tentang iman mereka setelah dipenuhi oleh Roh-Kudus. (bdk. Kis. 2:14-40). Petrus dan rasul lainnya menjadi cermin bagi kita sebagai penyaksi iman di zaman ini. Seperti Petrus, kiranya kita mampu membuat jemaat terharu (Kis. 2:37) menggerakkan mereka untuk bertanya: “Apa yang harus kami perbuat saudara?” Roh_Kudus membantu kita agar mengamini bahwa bukan lagi kita yang hidup melainkan Kristuslah yang hidup dalam diri kita, seperti nasihat Rasul Paulus. Semangat demikian menyingkirkan ambisi manusiawi untuk terkenal, menyingkirkan nafsu untuk ‘mewartakan’ diri sendiri dan merangkul komitmen menjadi penyaksi Kristus saja.

Sebagaimana halnya musik, khotbah memiliki suatu jiwa. Dalam dunia musik, ‘seorang pianis yang bagus tidak memainkan not-not, melainkan memainkan lagu’ (anonimous). Satu not menjadi berarti karena not yang lain. Sendiri ia tidak berarti sama sekali. Kesatuan not-not itu membentuk satu kalimat lagu dan satu kalimat lagu itu memiliki jiwa yang hendak disampaikan. W. A. Mozart, G.F.Handel, dan musisi terkenal lainnya meletakkan sebuah jiwa dalam harmoni musik. Mendengar alunan musik klasik langsung hati kita terarah kepada tokoh musik tertentu karena ada sebuah jiwa yang dikandungnya. Demikian khotbah, ia memiliki jiwa jika pengkhotbah meletakkan kesaksian imannya di dalam khotbah tersebut. Khotbah terasa hidup karena dijiwai oleh pengkhotbah lewat pengalaman dan permenungan hidupnya.

  1. BAGAIMANA PEMBAWAAN YANG MEMIKAT?

    (Homiletika formal)

     

    Daya tarik dan khasiat khotbah bergantung bukan kepada kata-kata yang keluar dari mulut pembicara tetapi terutamalah kepada daya sinar kepribadiannya. Ketika Demosthenes, ahli pidato Yunani kuno, ditanya apakah yang paling penting bagi seorang ahli pidato, Demosthenes menjawab: “Pertama pembawaannya; kedua pembawaannya; ketiga pembawaannya.” Satu-satunya ukuran sebuah pidato adalah bagaimana pembawaan dan pengaruhnya bagi pendengarnya. Kalau isi pidato bagus tetapi pembawaaan kurang maka pidato itu gagal. Pidato bukan hanya kata-kata, kata-kata hanya sebagian dari pidato. Teks pidato yang pernah dibawakan oleh mantan Presiden Soekarno tidak seberbobot jika teks yang sama dibawakan oleh orang yang tidak pintar berpidato.

    Lantas bagaimana pembawaan yang menarik itu?

  • Tampil dengan penuh keyakinan

Seseorang yang tampil dengan ragu-ragu akan tampak dari mimik dan raut wajahnya. Bagaimana mungkin seseorang mau meyakinkan pendengar sementara sendiri ia tidak tampak meyakinkan? Dalam wajah seseorang yang penuh keyakinan akan tergurat sebentuk kepercayaan diri. Bandingkan dengan Stefanus. Stefanus yang penuh Roh-Kudus memberi kesaksian kepada orang banyak dengan penuh keyakinan. Dia bersaksi kepada tua-tua dan ahli-ahli Taurat. Mereka melihat muka Stefanus sama seperti muka seorang malaikat.

Keyakinan inilah yang serentak akan ‘membakar’ pengkhotbah dan para pendengarnya. Akan sangat berbeda jika seseorang mulai diliputi rasa cemas dan takut dalam berkhotbah. Orang yang mendengar pun akan ikut cemas dan tidak nyaman. Apa penyebab rasa takut dan cemas ini? Carl Gustaf Jung menyebut bahwa kecemasan (kegugupan) ini “ketidaksadaran kolektif.” Menurut teori ini, segala pengalaman batin nenek moyang kita sampai yang paling jauh pun, masih berbekas dalam jiwa manusia. Sekarang dalam situasi tertentu, perasaan-perasaan purbakala itu mau muncul lagi. Gugup (cemas) juga terjadi karena pengkhotbah terlalu memikirkan dirinya sendiri, nama baik dan kehormatannya. Atau bisa jadi, ia kurang mempersiapkan diri. Ia takut pendengarnya akan mengetahui kelemahannya ini. Untuk mengatasi kegugupan, pembicara seharusnya: mempersiapkan diri sebaik mungkin, belajar menenangkan batin dan pernafasan, dan yakin bahwa kegugupan hanya bisa diatasi di dalam praktik.

Dan lagi, rasa takut dan cemas pertanda positif juga bahwa kita tidak menilai diri lebih dari yang sebenarnya, tetapi realistis. Rasa takut menandakan bahwa orang memiliki kesadaran akan keberhasilan. Orang-orang profesional sendiri tidak luput dari penyakit ini. Mereka bisa karena biasa (latihan).

  • Tampil apa adanya

Tampil penuh keyakinan memang sangat perlu. Tetapi tampil apa adanya jauh lebih penting lagi. Bukan pesimisme. Justru orang yang tampil artifisial lebih kerap mengundang antipati pendengar. Yang artifisial itu tidak menarik. Ingat pendapat Nietzsche: “Pembicara yang mula-mula malu dan kikuk sedikit, dialah yang dapat simpati auditorium.”

Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Masing-masing kepribadian itu unik dan menarik. Tampil sesaui kepribadian masing-masing akan sangat indah. Khotbah kiranya dibawakan oleh pembicara dengan disinari seluruh kepribadiannya yang unik itu. Pribadi itu lebih penting dari pada kata-katanya. Bahan khotbah yang cemerlang pun tidak menawan hati orang kalau diketahui si pembicara adalah manusia yang tidak ikhlas.

Be your self, itulah yang utama. Kita perlu berhati-hati dalam meniru-niru orang lain terutama gerak-geriknya. C. H. Sporgeon menceritakan bahwa ada seorang pastor yang waktu berkhotbah meniru-niru gerak-gerik orang lain Ketika mengatakan bangkit dia mengangkat kedua tangannya. Tetapi ketika mengatakan “Lalu ia berbalik…” pastor itu berbalik lantas membelakangi pendengar. Spontan para pendengar menjadi riuh melihat gerak-gerik pastor tersebut.

  • ‘Varietas Delectat’

Berkhotbah (sebagaimana tadi di atas) adalah sebuah seni. Kita mau meng – hidup – kan teks yang ‘mati’ itu lewat gaya berbicara dan variasi yang kita buat. Variasi versus monotonisme sangat menyenangkan. Sebuah kemajuan akhir-akhir ini bahwa banyak variasi khotbah dikembangkan. Ada yang mengemas khotbah dalam bentuk puisi, lagu, cerita, drama, dll. Khotbah juga bisa diselingi dengan musik instrumental, koor/vocal group yang tematis, menonton cuplikan film, dll.

Harap diingat bahwa variasi hanyalah fasilitas (facilis – e = mudah), forma dan bukan substansi. Janganlah variasi mangabaikan substansi iman, dan keduanya mesti dibedakan dan dihargai dalam tataran masing-masing.

Hal-hal Praktis yang kerap Terlupakan

  • Nafas

“Dilihat dari segi psikologi, berbicara itu adalah menghembuskan nafas. Menurut tujuannya, berbicara berarti pertama-tama, bernafas yang benar,” demikian Erich Drach.

Suara amat erat kaitannya dengan nafas. Suara yang tidak baik bisa disebabkan oleh pernafasan yang kurang baik. Karena suara terjadi bila selaput suara digetarkan oleh arus nafas yang keluar dan getaran itu bergaung dalam rongga kerongkongan, mulut, dan hidung.

Ada empat cara bernafas yang kita kenal:

a. Pernafasan dada

b. Pernafasan perut

c. Pernafasan sisi dari rongga perut dan dada

d. Pernafasan dalam (dan penuh)

Pernafasan dalam dan penuh adalah kombinasi dari pernafasan dada, perut, dan sisi rongga dada dan perut. Seseorang yang pandai berbicara harus menguasai teknik ini.

  • Suara

“Bicaralah supaya kulihat engkau,” kata Orang Yunani. Kepribadian dan watak orang dikenal dari suaranya. Dalam nada suara dan cara berbicara kita terungkaplah manusia apakah kita.

Modulasi suara sangat menentukan. Modulasi versus suara monoton. Modulasi berarti: satu perubahan ritmis dari intonasi bahasa dalam hubungan dengan naik turunnya suara secara sadar. Oleh modulasi, orang dapat berbicara cepat dan lambat, kuat dan halus, tinggi dan rendah – atau kombinasi dan variasi sesuai dengan keinginan pembicara – dan di samping itu suara juga mengarakterisasi suara menjadi ramah, gembira, sedih, sayu, ironis, dll.

Namun perlu juga mengetahui bahwa nada suara setiap orang (perihal tinggi, sedang, rendah, dll) erat terkait dengan kebudayaannya. Nada suara dan cara berbicara orang Surabaya berbeda dari orang Surakarta, beda nada suara Orang Batak dengan Orang Jawa. Untuk itu pengkhotbah harus mengenal siapa pendengar: suku dan latar belakangnya. Tak menutup mata juga bagi pengkhotbah untuk berlatih terus untuk kualitas suara yang baik.

  • Gerak-gerik dan Bahasa Tubuh

Bahasa tubuh (body language) adalah gerak-gerik tubuh atau bagian tubuh seperti wajah, mata, alis, tangan, bahu yang dipergunakan untuk mengungkapkan dan menyampaikan maksud tertentu kepada orang lain. Bahasa tubuh yang juga dikenal dengan nama kinesics merupakan bentuk interaksi atau hubungan antar manusia, yang tidak menggunakan bahasa tertulis dan lisan. Bahasa tubuh mencakup berbagai ungkapan atau gerak tubuh.

Pertanyaan “Perlukah gerak-gerik dan bahasa tubuh dalam berkhotbah” rasa-rasanya tidak pada tempatnya. Sebab gerak-gerik dan bahasa tubuh adalah bagian integral dari berbicara. Berbicara adalah gerak badan. Kita berbicara bukan hanya dengan mulut tetapi dengan seluruh badan. Seluruh badan ikut serta menyatakan dan menjelaskan apa yang diucapkan mulut. Orang yang terhambat dalam gerak-geriknya kurang berbakat untuk menjadi pengkhotbah yang baik.

  • Perasaan dan humor (cerita)

Tiga pilar yang saling terkait/integral dalam hidup manusia yakni: rasio, kehendak, dan perasaan. Perasaan membuat manusia itu sungguh manusia. Ia membuat manusia sungguh dapat merasa, ‘hadir’. Perasaan adalah sebuah fakta dalam hidup manusia. Karena pengaruh bawah sadar, perasaan itu unik adanya: apa yang dirasakan seorang A tidak persis sama dengan yang dirasa seorang B. Perasaan-perasaan menjadi indikator tentang pribadi orang yang bersangkutan: sedang senang, bosan, marah, lelah, dll. Indikator-indikator yang ditunjuk oleh perasaan-perasaan itu pada dirinya adalah murni dan subyektif. Oleh karena itu, perasaan harus juga diimbangi oleh rasio dan kehendak:

  • perasaan : marah —memukul!
  • rasio : “Jangan pukul!!”
  • kehendak : sadar mengapa harus tidak memukul.

Perasaan tampaknya sangat sepele sehingga banyak pengkhotbah mengabaikannya. Namun, akhir-akhir ini makin disadari bahwa ritus yang terlalu kaku dan rasional menimbulkan suasana yang kering dan membosankan. Orang-orang modern yang dihantui jadwal yang padat, alur gerak yang serba cepat, persaingan-persaingan hidup tentunya amat merindukan sapaan afeksi dan perasaan yang hangat. Seorang pengkhotbah mau memesonakan pendengarnya, tetapi orang baru mau tertarik dan membuka diri untuk buah pikiran yang berharga kalau perasaan pun disentuh dan hati dihangatkan.

Alangkah baiknya juga kalau seorang pengkhotbah pandai membungkus khotbahnya dengan ceritera, contoh, dan sindiran yang lucu. Hal kecil ini pun sering terlupakan. Padahal orang suka dihibur, orang suka tertawa. Kalau khotbah dibawakan dengan ceritera dan humor berbobot, pesannya lebih gampang diterima. Anthony de Mello, SJ, seorang guru rohani melukiskannya dengan sangat indah.

…Guru-guru kerohanian umat manusia seperti Budha dan Yesus menciptakan sarana untuk menyingkirkan daya tolak dalam diri pendengarnya: cerita. Mereka tahu bahwa kata-kata yang paling memikat yang dimiliki oleh setiap bahasa adalah: “Pada suatu ketika….” Mereka tahu bahwa menolak kebenaran adalah biasa, tetapi menolak suatu cerita adalah tidak mungkin. Vyasa, pengarang Mahabarata berkata bahwa kalau kita mendengarkan cerita dengan cermat, kita tidak pernah akan menjadi orang yang sama lagi. Sebabnya ialah cerita itu akan menyelinap masuk ke dalam hati kita dan meruntuhkan tembok-tembok dan membuka jalan bagi yang ilahi.

KESIMPULAN

Sebagai kesimpulan baiklah diulang apa yang menjadi pokok bahasan kita dalam tulisan sederhana ini. Tulisan ini mau membahas 2 pokok sekaligus yang tak terpisahkan satu sama lain: Isi khotbah (homiletika material) dan cara membawakan isi khotbah itu (homiletika formal). Isi khotbah yang berbobot sangat penting tetapi paling menentukan adalah pembawaan pengkhotbah yang menyangkut bagaimana isi yang berbobot itu disampaikan. Isi khotbah yang “mati” mau dihidupkan dengan pembawaan memikat si pengkhotbah.

Berkhotbah adalah tugas yang tidak gampang. Ia hanya bisa dilatih terus menerus lewat pengalaman dan praktik berkhotbah. Namun satu hal yang kiranya tidak diabaikan oleh pengkhotbah: kualitas hidup pengkhotbah sendiri adalah khotbah yang hidup. “Verba docent exempla trahunt.” Memang kata-katalah yang mengajar tetapi contoh/teladan hidup jauh lebih memikat dan memukat jemaat beriman. Ini jauh lebih sulit karena memerlukan komitmen penghayatan sepanjang hidup pengkhotbah itu.

Menutup tulisan ini baiklah ditekankan bahwa: pengkhotbah harus belajar dan bercermin kepada siapa dan apa yang baik di luar dirinya. Diri pribadi tidaklah satu-satunya kebenaran mutlak. Orang yang mau berkembang adalah orang yang terbuka dan mau belajar dari (mendengar) orang lain. “Orang yang menyadari kelemahan-kelemahan dan kerapuhannya sendiri jauh lebih besar dari orang yang melihat malaikat, ” imbuh guru rohani Iskak dari Ninive.

BIBLIOGRAFI

Balela, Yoseph Solor. “Menata Hidup Dalam Perspektif Ensiklik FIDES ET RATIO dari Paus Yohanes Paulus II”. Dalam Rajawali. Tahun V, no. 02 (Juni 2007), hlm. 153

Bertens, K. Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman. Yogyakarta: Kanisius, 1983

de Mello, Anthony, S.J. Doa Sang Katak 2. (judul asli: THE PRAYER OF THE FROG). Diterjemahkan oleh I. Suharyo, Pr, M. Joko Prakosa, & Th. Surasto Pramuji. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Hamma, F., S.J. Iman dan Perasaan. Yogyakarta: Kanisius, 1987.

Ginting, E.P.Pdt. Khotbah dan Pengkhotbah. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003.

Hendrikus, Dori Wuwur, SVD. BERKOTBAH Suatu Petunjuk Praktis. Ende: Penerbit Nusa Indah, 1985.

———– . RETORIKA.. Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Hunsakar, Phillip L., Anthony J. Alessandra. Seni Komunikasi bagi Para Pemimpin. (judul asli: The Art of Managing People) Diterjemahkan oleh A. M. Mangunharjana. Yogyakarta: Kanisius, 1986.

Kristianto, Eddy A., OFM. the ART of PREACHING, kiat sukses pewartaan sabda Jakarta: Penerbit Obor Jakarta, 2004.

Röthlisberg H. Homiletika (Ilmu Berkotbah). Jakarta: Badan Penerbit Kristen – Jakarta, 1967.

Verrijt, Eduard, OFMCap. ELOQUENTIA Kursus Berpidato. Pematangsiantar: SMU Seminari Menengah – Pematangsiantar, (tanpa tahun penerbit). (diktat)

// //

Posted by benzmanroe on Mei 25, 2009 at 8:10 am

http://benzmanroe.wordpress.com/2009/05/25/kotbah-yang-baik-itu/

7 thoughts on “Mempersiapkan khotbah yang baik…

    Hanani said:
    January 9, 2010 at 12:59 pm

    maaf each Q ngopi buat nambah2in tugas Q bhsa indonesia,,,tpi tenang ajach ntar Q gnti2 kta2X cm tak cuplik sbgian….^_^thankz…

    vio said:
    February 2, 2010 at 7:58 pm

    boleh berikan contoh2 cerita yang lucu semsa berkotbah supaya jemaat tidak mengantok….

    INNEB said:
    October 12, 2010 at 10:40 am

    klo maul lucu2, sekalian aja undang pelawak,,he…he…

    ria said:
    July 2, 2012 at 10:01 am

    thax ea, sangat memberkati banget,,saya mau tanya : bagaimana cara menghilangkan rasa takut, gemetar pada saat pertama kali khotbah d depan umum, JBU

      thomastrika responded:
      September 2, 2012 at 8:19 pm

      Saya fikir, justru jangan dihilangkan. Karena dengan kita takut, maka dalam persiapan dan menjelang membawakan renungan seharusnya kita semakin bergantung sama Tuhan.

      Maksudnya, dengan semakin menyadari kelemahan kita, ketidak-berdayaan kita, semakin kuasa Dia yang justru akan muncul ketikan membawakan renungan.

      Tapi tetap persiapan dalam renungan harus juga dilakukan. Maksudnya jgn coba-coba ah biar nanti RK pimpin saya, tapi kita sendiri belum mempersiapkan tema, sub-tema, ilustrasi/sharing pendukung untuk renungan itu sendiri.

      JBU.

    hendrikus udilon said:
    June 30, 2014 at 9:40 pm

    Sy blm pernah memberikan renungan krn kurang memahami benar isi kitab suci yang,spt tema sub tema masih kurang paham

      thomastrika responded:
      September 22, 2014 at 8:57 pm

      Sdr. Hendrikus Udilon saya sarankan untuk bisa mencari tahu mengenai kursus-kursus Kitab Suci di gereja anda. Kalau di Gereja Katolik ada seksi Kerasulan Kitab Suci (KKS). Bisa dimulai darisana. Selamat melayani.

Leave a comment